Bahagia

Kebahagiaan Tidak Dicari, Tapi Dibuat.
Hidup konon adalah pencarian kebahagiaan, seolah kebahagiaan itu sesuatu yang berada di luar diri kita, diam dengan anggun di negeri yang jauh, menunggu kita datang menjemput.Maka pengembaraan panjang—dan kadang tak berujung—itu pun dimulai. Sebagian besar dari ruas usia kita yang sangat terbatas, habis terpakai dalam perjalanan itu.Banyak orang yang terlalu sibuk mencari kebahagiaan sehingga lupa untuk berbahagia.Dia ada di dalam. Kita tak harus mencarinya, tetapi membuatnya, merakitnya, meraciknya, dari bahan-bahan yang sesungguhnya sudah ada di dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan bukanlah keadaan yang mesti ditunggu atau atau situasi yang harus dicari, tetapi keputusan yang harus dibuat, pilihan yang mesti diambil. Bukan sesuatu yang dimasukkan dari luar, tetapi dikeluarkan dari dalam.Karena itu, orang yang memiliki lebih sedikit alasan untuk berbahagia, bisa terlihat (dan memang benar-benar) lebih bahagia daripada orang yang punya lebih banyak. Orang miskin bisa saja lebih bahagia dari orang kaya. Orang yang hanya lulus SD bisa lebih bahagia dari seorang profesor. Jomblo bisa lebih bahagia dari yang punya pasangan, bahkan yang berpoligami. Dan seterusnya.Andai bunuh diri atau setidaknya depresi hanya terjadidi kalangan melarat misalnya, maka kita bisa berkesimpulan kemiskinan membuat kebahagiaan jadi mustahil. Tetapi nyatanya kan tidak. Orang-orang sangat kaya juga melakukan dan mengalaminya.Ini soal bagaimana kita melihat sisi terang dari semua hal. Laron saja selalu mengejar cahaya kok, masa kita malah mengendap di lorong-lorong gelap seperti tikus. Jadilah koki kreatif yang tetap bisa menyuguhkan hidangan nikmat dari keterbatasan bahan yang tersedia. Bukan seperti chef amatiran yang belum juga memulai memasak karena sibukmenuntut harus ada bahan sesuai buku resep, sementara rasa lapar sudah menggila.Kita sendiri yang membuat syarat untuk bahagia itu menjadirumit. Kita sendiri yang merancang resep menu keceriaan itu menjadi pelik. Sementara kita menunggu ikan salmonnya tiba dari Selandia Baru, kejunya sampai dari Skandinavia, orang di sebelah sudah berkeringat melahap ikanasin sambal terasi.Lucunya, kita sering meledek semacam ini, “Dih, gitu aja udang seneng banget. Norak!” Padahal sesungguhnya, pada saat yang sama kehidupan juga sedang mengolok-olok kita, “Lah, udah gitu kok masih suntuk. Goblok!”Maka raciklah bahagiamu, dengan segala bahan yang ada padamu, bahan-bahan yang barangkali selama ini kauabaikan karena terlalu sibuk mengejar ilusi kebahagiaan di seberang sana. Pada akhirnya, kehidupan hanya sejauh pikiranmu dapat berpikir, seluas perasaanmu bisa merasa.Alasan-alasan untuk berbahagiadi dalam diri itu (dan sialnya, begitu juga alasan-alasan untuk merasa menderita) seperti bintang di langit jernih, pada suatu malam tanpa polusi cahaya. Semakin kau menghitungnya, semakin dia bertambah banyak, muncul, atausebenarnyamenjadi terlihatsatuper satu, dan akhirnya langitmu penuh dengan cahaya.Tapi ada kok, orang yang menemukan kebahagiaannya setelah melakukan pengembaraan. Ada. Di ujung pengembaraan itu dia akhirnya menemukan, bahwa kebahagiaan yang dicarinya ternyata ada di rumah yang ditinggalkannya, dan rumah itu adalah pikiran dan perasaannya sendiri

Satu respons untuk “Bahagia

  1. Bahagia sungguh jika perasaan dan fikiran selalu memikirkan Allah..Apakah untuk mencari bahagia…fikiran juga boleh memikirkan dan merenung sang kiyai..dan..murid kiyai ? Terasa bahagia melihat sang kiyai dan muridnya tersenyum riang. Boleh kan?

    Suka

Tinggalkan komentar