Nasehat juga

“Duhai Anakku! Gunakan kedua matamu untuk memilih majelis. Jika kau lihat ada sekelompok orang berzikir kepada Allah swt, maka duduklah bersama mereka. Jika engkau seorang yang berilmu, ilmumu akan bermanfaat. Jika kau seorang yang bodoh, mereka akan mengajarimu. Disamping itu siapa tahu Allah swt sedang memandang mereka dengan penuh kasih saying sehingga engkau pun memperoleh rahmat-Nya.
Jika engkau melihat sekelompok orang tidak berzikir kepada Allah swt, maka jangan duduk bersama mereka. Jika kau seorang berilmu, maka ilmumu tidak akan bermanfaat. Jika kau seorang yang bodoh, mereka akan membuatmu tersesat. Disamping itu bisa jadi Allah swt sedang memandang mereka dengan murka sehingga kau pun ikut dimurkai.”
( Lukmanul Hakim kepada putranya )

Nasehat

“Anakku! Pertama-tama nasihatilah dirimu, kemudian nasihatilah orang lain. Perhatikanlah dirimu, jangan mengurusi orang lain, jangan mengurusi orang lain selama dalam dirimu masih ada sesuatu yang harus diperbaiki. Sungguh celaka, engkau mengaku tahu cara menyelamatkan orang lain! Engkau buta, bagaimana dapat menuntun orang lain? Hanya yang memiliki penglihatan tajamlah yang mampu menuntun umat manusia. Hanya seorang perenang handallah yang mampu menyelamatkan mereka dari samudera ganas. Hanya orang yang mengenal Allah swt lah yang dapat mengembalikan manusia ke jalan-Nya. Seseorang yang tidak mengenal-Nya, bagaimana dapat menuntun manusia ke jalan-Nya?”
( Sayyidina Syekh Abdul Qadir Jailany )

Ilmu

“Ilmu itu luas, sedangkan umur kita pendek, oleh karena itu, pilihlah ilmu yang sangat kamu butuhkan bagi agamamu dan tinggalkan yang lain.
Perumpaan seorang Mukmin di dunia ini adalah seperti seorang pasien di tangan perawatan dokternya. Ketika si pasien menginginkan sesuatu, sang dokter melarangnya, setelah dia sembuh, barulah sang dokter mengizinkannya. Begitu seorang Mukmin, terkadang ia menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain tetapi Allah swt tidak mewujudkan keinginannya tersebut hingga dia meninggal dunia dan masuk surga. ( sebab kalau diberikan di dunia, akan membuat dia tersesat )
( Sayyidina Salman Al-farisi )

DZIKIR

DZIKIR
DZIKIR
A. Pengertian Dzikir
Yang dimaksud dzikir di dalam thariqah
adalah bacaan “Allah” atau bacaan “La
ilaaha illallah”. Dzikir dengan bacaan
‘Allah’; yang biasanya dilakukan didalam
hati, disebut dengan Dzikir Sirri atau
Dzikir Khofi atau Dzikir Ismuz-Dzat, yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah
SAW melalui Sayyidina Abu Bakar Ash-
Shiddiq RA. Sedang dzikir dengan bacaan
‘Laa ilaaha illallah’; yang biasanya
dilakukan secara lisan , disebut Dzikir
jahri atau Dzikir Nafi Itsbat, yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah
SAW melalui Sayyidina Ali bin Abi Tholib
karramallahu wajhah. Kedua jenis dzikir
dari kedua sahabat inilah yang menjadi
sumber utama pengamalan thariqah, yang
terus menerus bersambung sampai
sekarang, kepada kita semua.
B. Talqin Dzikir
Di dalam thariqah ada yang disebut
Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat
dzikir La ilaaha illallah dengan lisan
(diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-
Dzat lafadh Allah secara bathiniyah dari
seorang Guru Mursyid kepada muridnya.
Dalam pelaksanaan dzikir thariqah,
seseorang harus mempunyai sanad
(ikatan) yang muttasil (bersambung) dari
guru mursyidnya yang terus bersambung
sampai kepada Rasulullah SAW.
Penisbatan (pengakuan adanya
hubungan) seorang murid dengan guru
mursyidnya hanya bisa terjadi melalui
talqin dan ta’lim (belajar) dari seorang
guru yang telah memperoleh izin untuk
memberikan ijazah yang sah yang
bersandar sampai kepada Guru Mursyid
Shohibut Thariqoh, yang terus
bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan
faedah yang sempurna kecuali melalui
talqin dan izin dari seorang guru mursyid.
Bahkan mayoritas ulama thariqoh
menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah
satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr
(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya
adalah keterikatan antara satu hati
dengan hati yang lainnya sampai kepada
Rasulullah SAW, yang bersambung
sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah
Azza wa jalla.
Dan seseorang yang telah memperoleh
talqin dzikir yang juga lazim disebut
dengan bai’at dari seorang guru mursyid,
berarti dia telah masuk silsilahnya para
kekasih Allah yang agung. Jadi jika
seseorang berbai’at Thariqoh berarti dia
telah berusaha untuk turut menjalankan
perkara yang telah dijalankan oleh
mereka.
Perumpamaan orang yang berdzikir yang
telah ditalqin/dibai’at oleh guru mursyid
itu seperti lingkaran rantai yang saling
bergandengan hingga induknya, yaitu
Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya
ditarik maka semua lingkaran yang
terangkai akan ikut tertarik kemanapun
arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali
sampai kepada Rasulullah SAW itu
bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-
lingkaran anak rantai yang saling
berhubungan.
Berbeda dengan orang yang berdzikir
yang belum bertalqin/berbai’at kepada
seorang guru mursyid, ibarat anak rantai
yang terlepas dari rangkaiannya.
Seumpama induk rantai itu ditarik, maka
ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita
semua perlu bersyukur karena telah diberi
ghirah (semangat) dan kemauan untuk
berbai’at kepada seorang guru mursyid.
Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah
menjalaninya serta senantiasa menjaga
dan menjalankan syari’at dengan
sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga
dapat istiqomah didalam murabithah
(merekatkan hubungan) dengan guru
mursyid kita masing-masing.
C. Dasar Talqin Dzikir
Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru
mursyid dapat melakukannya kepada
jama’ah (banyak orang) atau kepada
perorangan. Hal ini didasarkan pada
riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani
yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW telah mentalqin para sahabatnya,
baik secara berjama’ah maupun
perorangan.
Adapun talqin Nabi SAW kepada para
sahabatnya secara jama’ah sebagaimana
diriwayatkan dari Syidad bin Aus RA:
“Ketika kami (para sahabat) berada di
hadapan Nabi SAW, beliau bertanya:
“Adakah di antara kalian orang
asing?” (maksud beliau adalah ahli kitab),
aku menjawab: “Tidak.” Maka beliau
menyuruh untuk menutup pintu, lalu
berkata: “Angkatlah tangan-tangan kalian
dan ucapkanlah La ilaaha illallah!”
Kemudian beliau melanjutkan:
“Alhamdulillah, Ya Allah sesungguhnya
Engkau mengutusku dengan kalimat ini
(La ilaaha ilallah), Engkau perintahkan aku
dengannya dan Engkau janjikan aku
surga karenanya. Dan sungguh Engkau
tidak akan mengingkari janji.” Lalu beliau
berkata: “Ingat! Berbahagialah kalian,
karena sesungguhnya Allah telah
mengampuni kalian.”
Sedangkan talqin Beliau kepada
sahabatnya secara perorangan adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-
Kirwany dengan sanad yang sahih bahwa
Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah pernah memohon kepada Nabi
SAW : “Ya Rasulullah, tunjukkan aku jalan
yang paling dekat kepada Allah, yang
paling mudah bagi para hambaNya dan
yang paling utama di sisiNya!” Maka
beliau menjawab: “Sesuatu yang paling
utama yang aku ucapkan dan para nabi
sebelumku adalah La illaaha illallaah.
Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi
berada diatas daun timbangan dan La
illaaha illallaah diatas daun timbangan
satunya, maka akan lebih beratlah ia (La
illaaha illallaah),” lalu lanjut beliau: “Wahai
Ali, kiamat belum akan terjadi selama di
muka bumi masih ada orang yang
mengucapkan kata Allah.” Kemudian
Sahabat Ali berkata: “Ya Rasulullah,
bagaimana aku berdzikir menyebut
Allah?,” Beliau pun menjawab: “Pejamkan
kedua matamu dan dengarkan dariku tiga
kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan
mendengarkannya.” Kemudian Nabi SAW
mengucapkan La ilaaha illallah tiga kali
dengan memejamkan kedua mata dan
mengeraskan suara beliau, lalu Sahabat
Ali bergantian mengucapkan La illaaha
illallaah seperti itu dan Nabi SAW
mendengarkannya. Inilah dasar talqin
dzikir jahri (La illaaha illallaah).
Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan
hati tanpa menggerakkan lisan dengan
itsbat tanpa nafi, dengan lafadh Ismudz-
Dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW
dengan sabdanya: “Qul Allah tsumma
dzarhum” (Katakan “Allah” lalu biarkan
mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-­
Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq
RA) yang mengambilnya secara batin dari
Al-Mushthofa SAW. Inilah dzikir yang
bergaung mantap di hati Abu Bakar. Nabi
SAW bersabda: “Abu Bakar mengungguli
kalian bukan dikarenakan banyaknya
puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu
yang bergaung mantap di dalam hatinya.”
Inilah dasar talqin dzikir sirri.
Semua aliran thariqah bercabang dari dua
penisbatan ini, yakni nisbat kepada
Sayyidina Ali karramallahu wajhah untuk
dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina
Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka
kedua beliau inilah sumber utama dan
melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman
datang. Nabi SAW mentalqin kalimah
thoyyibah ini kepada para sahabat
radliallahu ‘anhum untuk membersihkan
hati mereka clan mensucikan jiwa mereka,
serta menghubungkan mereka ke hadirat
Ilahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang
suci murni. Akan tetapi pembersihan dan
pensucian dengan kalimat thoyyibah ini
atau Asma-asma Allah lainnya itu, tidak
akan berhasil kecuali apabila si pelaku
dzikir menerima talqin dari syaikhnya
yang alim, amil, kamil, fahim terhadap
makna Al-Qur’an dan syari’ah, mahir
dalam hadits atau sunnah dan cerdas
dalam hal ‘aqidah dan ilmu kalam, dimana
syekh tersebut juga telah menerima talqin
kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya
yang terus bersambung dari syaikh agung
yang satu dari syaikh agung lainnya
sampai kepada Rasulullah SAW.
D. Adab Berdzikir
Untuk melaksanakan dzikir di dalam
thariqah ada tata krama yang harus
diperhatikan, yakni Adab Berdzikir. Semua
bentuk ibadah bila tidak menggunakan
tata krama atau adab, maka akan sedikit
sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir
Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah
disebutkan pada fasal Adabudz-dzikr,
sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syekh
Abdul Wahab Sya’rani.ra bahwa adab
berdzikir itu banyak, tetapi dapat
dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh),
yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)
adab dilakukan sebelum berdzikir, 12 (dua
belas) adab dilakukan pada saat berdzikir
dan 3 (tiga) adab dilakukan setelah
selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima) adab yang harus
diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1. Taubat, yang hakekatnya adalah
meninggalkan semua perkara yang tidak
berfaedah bagi dirinya baik yang berupa
ucapan, perbuatan maupun keinginan.
2. Mandi dan atau wudlu.
3. Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar
di dalam berdzikir nanti dia dapat
memperoleh shidq, artinya hatinya dapat
terpusat pada bacaan Allah yang
kemudian dibarengi dengan lisannya yang
mengucapkan La ilaaha illallah.
4. Menyaksikan dengan hatinya -ketika
sedang melaksanakan dzikir terhadap
himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5. Meyakini bahwa dzikir thariqah yang
didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang
didapat dari Rasulullah SAW, karena
syaikhnya adalah na-ib (pengganti) dari
beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang
harus diperhatikan di saat melakukan
dzikir adalah;
1. Duduk di tempat yang suci seperti
duduknya di dalam shalat.
2. Meletakkan kedua telapak tangannya
diatas kedua pahanya.
3. Mengharumkan tempatnya untuk
berdzikir dengan bau wewangian,
demikian pula pakaian di badannya.
4. Memakai pakaian yang halal dan suci.
5. Memilih tempat yang gelap dan sepi
jika memungkinkan.
6. Memejamkan kedua mata, karena hal
itu akan dapat menutup jalan indra
dhohir, karena tertutupnya indra dhohir
akan menjadi penyebab terbukanya indra
hati/bathin.
7. Membayangkan pribadi guru
mursyidnya di antara kedua matanya.
Dan ini menurut Para ulama thariqah
merupakan adab yang sangat penting.
(rabithah)
8. Jujur dalam berdzikir. Artinya
hendaknya seseorang yang berdzikir itu
dapat memiliki perasaan yang sama, baik
dalam keadaan sepi (sendiri) ataupun
ramai (banyak orang).
9. Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari
segala ketercampuran. Dengan kejujuran
serta keikhlasan, seorang yang berdzikir
akan sampai pada derajat Ash-
Shiddi’qiyah dengan syarat dia mau
mengungkapkan segala yang terbersit
didalam hatinya -berupa kebaikan dan
keburukan kepada syaikhnya. Jika dia
tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti
ia berkhianat dan akan terhalang dari
fath (keterbukaan batiniyah).
10. Memilih shighot dzikir bacaan Laa
ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki
keistimewaan yang tidak didapati pada
bacaan-bacaan dzikir syar’i lainnya.
11. Menghadirkan makna dzikir di dalam
hatinya.
12. Mengosongkan hati dari segala
apapun selain Allah dengan La ilaaha
illallah, agar pengaruh kata ”illallah”
terhujam di dalam hati dan menjalar ke
seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir
adalah;
1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari
dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan
hatinya untuk menunggu waridudz-dzikr.
Para ulama thariqah berkata bahwa bisa
jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak
memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih
besar daripada apa yang dihasilkan oleh
riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
2. Mengulang-ulang pernafasannya
berkali-kali. Karena hal ini -menurut para
ulama thariqah- lebih cepat menyinarkan
bashi’rah, menyingkapkan hijab-hijab dan
memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan
syetan.
3. Menahan minum air. Karena dzikir
dapat menimbulkan hararah (rasa hangat)
di hati orang yang melakukannya, yang
disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa
rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/
Allah yang merupakan tujuan utama dari
dzikir, sedang meminum air setelah
berdzikir akan memadamkan rasa
tersebut.
Para Guru Mursyid berkata: “Orang yang
berdzikir hendaknya memperhatikan tiga
tatakrama ini, karena natijah (hasil)
dzikirnya hanya akan muncul dengan itu.”
Wallahu a’lam.
Keterangan:
1. Himmah para syaikh/guru mursyid
adalah keinginan para beliau agar semua
muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.
2. Sikap duduk pada waktu melakukan
dzikir ada perbedaan antara aliran
thariqah satu dengan lain-nya, bahkan
antara satu mursyid dengan lainnya
dalam satu aliran thariqah. Ada yang
menggunakan cara duduk seperti duduk
didalam shalat (tawarruk dan i ftirasy),
ada yang dengan tawarruk dibalik artinya
kaki kanan yang dimasukkan dibawah
lutut kiri, ada yang dengan duduk
murobba’ (bersila) dan ada yang dengan
cara seperti saat dibai’at oleh
mursyidnya. Oleh karena itu maka sikap
duduk didalam berdzikir bisa dilakukan
sesuai dengan petunjuk guru mursyidnya
masing-masing.
3. Membayangkan pribadi syaikhnya
seakan berada di hadapannya pada saat
melakukan dzikir, yang lazim disebut
“rabithah” atau “tashawwur” bagi seorang
murid thariqah. Hal tersebut lebih
berfaidah clan lebih mengena daripada
dzikirnya itu. Karena syaikh adalah
washillah/ perantara untuk wushul ke
hadirat Sang Maha Haq ‘azza wa jalla
bagi si murid, dan setiap kali bertambah
wajah kesesuaian bayangannya bersama
syaikhnya maka bertambah pula
anugerah-anugerah dalam bathiniyahnya,
dan dalam waktu dekat akan sampailah
dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan
lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/
lebur lebih dahulu dalam pribadi
syaikhnya, kemudian setelah itu dia akan
sampai pada fana’/lebur pada Allah
ta’ala. Wallahu a’lam.
4. Yang dimaksud dengan waridudz-dzrkr
adalah adalah segala sesuatu yang
datang/muncul di dalam hati berupa
makna-makna atau pengertian-pengertian
setelah berdzikir yang bukan dikarenakan
oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.

Ihsan

punya motor? kalau punya, jika motor itu sering kamu cuci, atau kamu beri aksesoris yang bagus, dan bodinya km perbagus, maka motormu juga akan kelihatan bagus, tapi jika mesinnya juga gak kamu servis, businya ngadat, akinya soak, motor itu bagus dan banyak yang memuji tapi sering kalau kamu pakai jalan seringnya ngadat di jalan, mogok, kadang puluhan kilo motormu kamu dorong, dan tentu itu akan membuatmu marah, uring uringan, gondok, lelah, dll
sama jika km ibadah, lahiriyah ibadahmu kamu perbagus, sholatmu kamu baguskan bacaannya, geraknya km sempurnakan, juga pakaian untuk ibadahmu kamu perbagus, km pakai haruman yang wangi, sajadah yang indah dan rapi, tapi hatimu lalai, tak ingat km ibadah pada Allah, sama sekali tak kamu ingat asma Allah di hatimu, maka akan indah lahiriyahmu tapi tidak batiniahmu, kamu akan menjadi orang yang bertutur sapa halus, berpakaian rapi, selalu penuh senyum pada siapa saja kalau bertemu orang lain, tapi hatimu akan menjadi hati yang dengkian, selalu iri, sombong, buruk sangka, tak ikhlas, kecewa, tak terima, takut kesaing, gontokan, mangkelan, di depan orang baik, di belakang memusuhi, kamu akan jadi manusia bagus di luar, di dalam remek remuk.
sebagaimana motor yang yang lahiriyahnya km perbagus body nya tapi karena mesinnya sama sekali tak kamu perbagus, jadi sering mogok di jalan.
memperbagus ibadah lahir itu adalah pengamalan rukun ISLAM,
memperbagus ibadah batin itu adalah pengamalan rukun IMAN.
islam itu amaliyah sareat agama.
iman itu amaliyah haqiqat agama.
dan menjalankan keduanya itu namanya thoreqoh. juga di namakan ihsan.
yaitu memperbagus lahir batinnya agama, memperbagus keislaman dan keimanan kita, dan pengamalannya itu sepanjang usia.

Jalan mana yang kita tempuh

JALAN KESUFIAN
Manusia yang memasuki jalan kesufian dan melakukan berbagai macam laku amaliyah latihan kerohanian didorong oleh tujuan yang suci iaitu untuk menjadi hamba Allah s.w.t sebaik mungkin, menjadi hamba yang mengabdi lahir batin pada Allah s.w.t. Mereka telah terlebih dahulu mengikuti jalan yang dilalui oleh orang di masa lalu, Mereka telah bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan beramal menurut peraturan syariat. Kehidupan harian dijadikan tarekat menjalankan syarat syareat hakikat, dalam gerak yang satu dalam bentuk ibadah lahir dan batin, saling berkaitan, waktu di buat bermujahadah pada jalan Allah s.w.t, demi memperolehi keridoan-Nya. Dia kuat melakukan ibadat dalam aspek hubungan dengan Tuhan dan juga amalan dalam aspek hubungan sesama manusia. tapi walaupun mereka sudah menjaga peraturan syariat sekadar kemampuan mereka, namun hati mereka masih merasakan kekosongan. Mereka sudah berjumpa dengan berbagai macam guru namun, banyak persoalan yang timbul dalam fikiran mereka tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hati mereka. sebab penjelasan kadang tak bisa mewakili intuisi kejadian, jadi penjelasan dari guru yang bagaimanapun tak akan bisa memuaskan pada yang mendengar, apalagi penjelasan yang bersifat rahasia itu selalu di jelaskan harus dengan amsal, perumpamaan, karena apa yang terjadi tak umum terjadi di mata manusia kebanyakan, pengalaman ruhani adanya di ceruk batin yang dalam, dan penjelasan dari seseorang itu tak akan mewakili, kecuali kepahaman yang sedikit dapat di petik oleh pendengar karena keterbatasan hayal dan daya tangkap kejernihan hati untuk menerima cetusan rahasia dalam rahasia.
Mereka sampai kepada peringkat mencari sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa yang dicari. Mereka diganggu oleh persoalan-persoalan yang mereka tidak tahu di mana mau mendapatkan jawapan. Mereka merasakan kekosongan jauh di dalam lubuk hati, seolah-olah menantikan sesuatu untuk memenuhinya. Kekuatan akal mereka sudah sampai ke perbatasan yang tidak mungkin ditembusi lagi. Jiwa mereka menjadi tidak tenteram dan fikiran mereka keliru. di saat seperti itu seringkali jin merasuk untuk mengeruhkan suasana, dan banyak orang terjebak tipuan di situ, perjalanan jadi gagal, orang itu melenceng dari kebenaran, sedang yang masih selamat, mereka mencoba mencari kedamaian melalui amalan tetapi tidak bisa mendapatkan ketentraman dan jawaban dari pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Mereka mencuba mendapatkan kedamaian melalui orang-orang alim yang mereka kenali, juga tidak banyak jawaban bisa memuaskan pertanyaan. Orang alim merupakan modal terakhir mereka. Bila modal tersebut gagal memberikan hasil yang mereka harapkan, mereka sampai kepada titik peralihan. Jiwa mereka mudah terangsang apabila melihat kesyirikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran yang berlaku di sekeliling mereka. Mereka melihat kerusakan berlaku tetapi mereka tidak terdaya menahannya.
Apabila mereka memandang kepada masyarakat mereka melihat kepada kemunkaran dan kerusakan dan apabila mereka memandang kepada diri sendiri mereka melihat ketidak-upayaan dan tiada berdaya apa-apa, sama sekali tak melakukan apa-apa, seakan seperti orang bodoh yang tak ada arti saja, yang tidak bisa mencegah kerusakan yang berlaku. Mereka melihat kerusakan yang berlaku kepada masyarakat seperti melihat ombak besar yang menggulung diri mereka. Dalam keadaan yang demikian mereka melihat jalan keselamatan buat mereka adalah mengasingkan diri, lalu mereka masuk ke dalam lembah suluk.
Kumpulan tersebut memasuki suluk dengan niat: “Ilahi! Engkau jualah tujuan dan keredaan Engkau jua yang dicari”. Mereka tidak pernah mengetahui, apa lagi terlibat dengan fahaman wahdatul wujud, tidak ada motif mau bersatu dengan Tuhan, tidak mengimpikan fana, zauk dan jazbah dan tidak bermaksud meninggalkan tanggung jawab rumah tangga atau meninggalkan syariat. Keyakinan mereka terhadap syariat tidak pernah bergoyang, cuma sesuatu tentang syariat itu yang mereka tidak jelas. Jawapan kepada yang tidak jelas itu mereka tidak perolehi melalui jalan yang telah mereka lalui.

Apa Tugas Kita ?

Sufi yang dipilih oleh Allah swt, untuk menanggung sesuatu tugas di dalam masyarakat akan ditarik ke jalan mahabbah. Ketika di dalam daerah kewalian sufi, jazbah (menjadi GILA ) menghancurkan secara mudah sifat-sifat yang tercela pada diri mereka dan dimasukkan kemampuan sifat-sifat yang terpuji sehingga sifat demikian menjadi kepribadian mereka. Mereka menjadi orang yang bersifat baik, bukan orang yang berusaha menjadi baik. Mereka menjadi ikhlas secara spontan bukan yang berperang dengan ria untuk mempertahankan ikhlas. Ketika mereka keluar dari daerah kewalian sufi dan dimasukkan ke dalam daerah kewalian cara kenabian, mereka masuk dengan ada persiapan segala kemampuan yang baik untuk menanggung bebas tugas yang akan diberikan kepada mereka kelak. Pada jalan mahabbah segala bakat dan kemampuan mereka digilapkan untuk menyelesaikan kewalian kepada derajat khalifah yang layak memikul beban tugas khusus. Jalan mahabbah dimulai setelah kefanaan, yaitu dari baqa menuju kepada kesadaran sepenuhnya karena sebelum memperoleh kembali kesadaran keinsanan mereka tidak layak menjadi Khalifah Allah yang mengatur urusan orang banyak. Ketika meninggalkan kefanaan dan masuk ke kebaqaan dan kesadaran keinsanan sudah mulai kembali, wali yang lebih matang itu dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat dan benar dengan salah. Pada tahap awal menyaksikan perbedaan wali itu masih memiliki sikap toleran dengan sesuatu yang salah dan tidak benar. Meskipun kesalahan diakui ada namun, mereka tidak bertindak memperbaiki kesalahan tersebut. Pada tahap ini mereka lebih banyak menyendiri dan enggan mencampuri urusan orang lain. Meskipun mereka sudah bisa melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk namun, mereka masih merasakan makhluk itu satu wajah atau aspek ketuhanan atau hak Tuhan, bukan ciptaan yang terpisah sepenuhnya dari Tuhan.
Jalan mahabbah adalah perbatasan di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian. Fana dan baqa ada dalam daerah kewalian sufi. Transisi dari baqa kepada kesadaran keinsanan ada pada jalan mahabbah. Bila kesadaran keinsanan kembali sepenuhnya sufi tadi masuk ke jalan kenabian. Perjalanannya menjadi lengkap. Dia sudah kembali ke tempat awal dan lingkaran perjalanan spiritualnya bergabung dan dia sudah bisa menanggung tugas kekhalifahan. Orang yang sampai ke daerah khalifah ini menjadi sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Mereka menjadi salinan kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw Pada tahap akhir ini mereka sudah mampu membuat perbedaan sepenuhnya. Pegangan mereka juga berubah. Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Baik adalah baik dan jahat adalah jahat. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak ada tolak-angsur lagi. Perbatasannya sangat jelas. Sufi itu pun bertobat dari pegangannya sebelumnya. Kini mereka rindukan akhirat, kasihkan surga dan takut neraka.
Wali yang menyempurnakan perjalanannya dan sampai ke daerah kekhalifahannya bertanggungjawab membersihkan jalan menuju Allah swt dari polusi dan kesamaran. Yang benar adalah jelas dan jalan kepada kebenaran juga jelas. Yang salah adalah jelas dan jelas kepada kesalahan juga jelas. Wali yang bertaraf khalifah mampu menguraikan ucapan-ucapan aneh yang muncul dalam daerah kewalian sufi. Nabi adalah umpama titik awal yang tanpanya tidak mungkin dilukiskan huruf. Wali-wali sufi adalah titik-titik yang membentuk garis lengkung. Titik Nabi dan titik-titik wali sufi membentuk huruf nun. Meskipun garis lengkung itu panjang tetapi tidak bergabung dengan titik awal. Jadi ada perbedaan di antara garis lengkung dengan titik awal. Wali pada jalan kenabian yaitu khalifah spiritual adalah pencantum garis lengkung kewalian sufi dengan titik awal kenabian. Khalifah memahami suasana kewalian sufi dan mampu membawa mereka ke jalan kenabian. Khalifah menjadi penerjemah kata wali dan penegak kata Nabi. Kekusutan di Jalan kewalian Sufi dijelaskan oleh khalifah. Kebenaran pada jalan kenabian diperjuangkan oleh khalifah. Dari waktu ke waktu Tuhan mengungkapkan khalifah-Nya untuk memperjuangkan jalan kenabian dan melindungi wali-wali yang tenggelam dalam jazbah, fana dan baqa.

Nasehat

Nasihat Dzun-Nun kepada Ibrahim Al-Akhmimi
Wahai Ibrahim, jagalah dariku lima hal. Jika engkau menjaganya, maka engkau tidak akan peduli kepada apa yang terjadi sesudahnya.
Rangkullah kefakiran, bersifatlah dengan kesabaran, lawanlah keinginan (syahwat), ingkari hawa nafsu, dan takutlah kepada Allah dalam segala urusanmu. Hal itu akan mewariskan kepadamu rasa syukur, kerelaan, ketakutan, pengharapan, dan kesabaran. Yang lima ini akan mewariskan kepadamu lima hal, yakni: ilmu, amal, menunaikan yang fardhu, menjauhi yang haram, dan menepati janji. Engkau tidak akan sampai pada yang lima ini kecuali dengan lima hal, yakni: ilmu yang berlimpah, makrifat yang pasti, hikmah yang berpengaruh, akal yang menembus, dan jiwa yang takut.
Celakalah semua, celaka orang yang diuji dengan lima hal, yakni: barang haram, kemaksiatan, menghias diri untuk apa yang dimurkai Allah, menghina manusia dengan apa yang ada pada dirinya (*sebenarnya ini kurang satu -_-). Keburukan yang paling paling jelek ada lima hal, yakni: pegangan pada yang jelek, perbuatan yang jahat, membebani punggung dengan dosa, memata-matai manusia dengan apa yang tidak disukai Allah, dan menampakkan kepada Allah apa yang dibenci-Nya.
Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengikhlaskan lima hal, yakni: yang mengikhlaskan ilmu dan amalnya, yang mengikhlaskan cinta dan marahnya, yang mengikhlaskan bicara dan diamnya, dan yang mengikhlaskan perkataan dan perbuatannya (*juga, ini kurang satu , tapi bagaimana lagi?).
Ketahuilah wahai Ibrahim, bahwa sisi halal itu ada lima, yaitu: perniagaan dengan jujur, bekerja dengan ketulusan, perburuan di darat dan di laut, pewarisan barang yang diperoleh secara halal, dan hadiah dari tempat yang engkau relakan. Setiap kesenangan dunia ada kelebihan, kecuali lima hal: roti yang mengenyangkanmu, air yang memuaskanmu, pakaian yang menutupi tubuhmu, rumah yang meneduhimu, dan ilmu yang kau amalkan. Engkau memerlukan juga lima hal, yaitu: keikhlasan, niat baik, taufik, kesesuaian dengan kebenaran, dan makanan dan minuman yang baik.
Lima yang mengandung ketenangan, yaitu: meninggalkan teman yang jahat, kezuhudan di dunia, meninggalkan penghinaan pada hamba-hamba Allah, bahkan engkau tidak menghinakan orang yang berbuat maksiat kepada Allah (*juga kurang satu -_-). Ketika itu, gugurlah darimu lima hal, yaitu: perbantahan, perdebatan, riya’, berhias, dan mencintai kedudukan.
Terdapat lima yang di dalamnya menggabungkan tujuan, yaitu: memutuskan hubungan dengan selain Allah, meninggalkan kelezatan yang mendatangkan hisab, tidak sabar dalam menghadapi sahabat dan musuh, ketenangan, dan meninggalkan penumpukan harta. Lima hal, wahai Ibrahim, yang diharapkan seorang berilmu (‘alim), yaitu kenikmatan yang hilang, bencana yang datang, kematian yang membinasakan, fitnah yang mematikan, atau ketergelinciran kaki setelah tegaknya. Cukuplah bagimu wahai Ibrahim, engkau mengamalkan apa yang engkau telah ketahui. (h. 249-251)
Dzun-Nun berkata:
Orang berakal bukanlah orang yang pintar dalam urusan dunianya, tetapi pandir dalam urusan akhiratnya, bukan orang yang jelek pekerti ketika harus bermurah hati, dan juga bukan orang yang bersikap sombong ketika harus merendahkan diri. Janganlah menjadi orang yang marah pada kebenaran jika dikatakan kebenaran itu kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang disukai orang berakal. Janganlah menjadi orang yang menyedikitkan apa yang banyak dari Penciptanya dan memperbanyak yang sedikit dari apa yang disyukurinya. Janganlah menjadi orang yang menuntut keadilan dari orang lain untuk dirinya, tetapi ia sendiri tidak berlaku adil kepada orang lain. Janganlah menjadi orang yang melupakan Allah ketika harus menaati-Nya, tetapi mengingat Allah ketika berhajat kepada-Nya. Janganlah menjadi orang yang menumpuk ilmu sehingga terkenal, tetapi kemudian dipengaruhi hawa nafsunya ketika mempelajarinya. Janganlah menjadi orang yang sedikit rasa malunya kepada Allah atas keindahan hijab-Nya. Janganlah menjadi orang yang lalai bersyukur atas penampakan nikmat-Nya. Janganlah menjadi orang yang lemah dari berjihad melawan musuhnya demi keselamatannya ketika musuhnya memaksakan peperangan kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan harga dirinya sebagai pakaiannya, tetapi tidak menjadikan adab, wara’, dan ketakwaan sebagai pakaiannya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan ilmu dan pengetahuannya sebagai perhiasan dalam majelisnya.
Mohon ampunlah kepada Allah jika engkau terlalu banyak bicara. Jika engkau tidak menghentikannya, maka pembicaraan tidak akan terputus.
Janganlah engkau keluar dari tiga hal, yakni pandangan pada agamamu dengan keimananmu, berbekal dengan duniamu untuk akhiratmu, dan permohonan tolong kepada Tuhanmu di dalam apa yang diperintahkan-Nya kepadamu dan yang dilarang-Nya atas dirimu. (h. 230-231)
Brangsiapa memandang dan melihat-lihat aib orang lain, maka ia buta pada aib dirinya sendiri. Barangsiapa memperhatikan Firdaus dan neraka, maka dia dilalaikan dari omongan orang. Barangsiapa lari dari manusia, maka ia terhindar dari kejahatan mereka. Barangsiapa mensyukuri nikmat, maka nikmat bertambah baginya.

Jalan Sufi

Jalan sufi adalah jalan panjang nan berliku. Ia dipenuhi berbagai duri dan onak tajam. Tak mudah untuk melakoninya. Namun buah agung niscaya akan didapat, bagi mereka yang dengan tekun menapakinya tanpa lelah; Pertemuan dengan Tuhannya. Pertemuan itu tak melulu harus menunggu saat kelak di akhirat. Hal itu dapat terjadi di dunia ini, saat para sufi terbuai dalam ekstase, saat itu pula tersingkap hijab alam malakut dan terpancar jelas ‘wajah’ Tuhan di hati para penghasrat-Nya. Tuhan menampakkan diri pada hamba-Nya yang saleh. Sebagaimana tersebut dalam hadis qudsi ‘Langit dan bumi tak mampu untuk mewadahi-Ku, hanya hati hamba-Ku yang mukmin yang sanggup mewadahi-Ku’.
Para Sufi memiliki hasrat tak terbendung untuk mendapatkan pengetahuan mengenai Tuhannya. Ia disebut-sebut sebagai pengetahuan tertinggi diatas segala pengetahuan yang ada. Ia tidak dapat dikenali dengan indera telanjang, pun juga dengan rasio manusia yang terbatas itu. Pengetahuan itu tidak didapatkan melalui jalan belajar, menuntut ilmu dan melakukan riset. Hanya melalui hati, yang diberkati dengan terang cahaya illahi pengetahuan itu dapat teridentifikasi. Wa man yuridillahu an yahdiyahu yasyrah shadrahu lil islam. Barang siapa yang dikehendaki Tuhan untuk mendapatkan petunjuk-Nya, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam.
Pengetahuan hakiki hanya bisa didapatkan dengan menjalani laku suluk, karena sebagaimana wejangan Al-Ghazali; ‘Para Sufi adalah mereka yang melakoni ritual-ritual sufistik, dan bukan mereka yang hanya pandai berkata-kata’.[1] Laku suluk merupakan satu-satunya jalan para sufi untuk menemukan pengetahuan hakiki. Dalam usahanya untuk itu para sufi terbiasa melakoni serangkaian mujahadah, mulazamah kepada Allah, dan memilih pola hidup asketis (zuhud). Hal itu dilakukan terus-menerus dan berkesinambungan. Dengan hal itu dimaksudkan untuk mengikis syahwat-syahwat badani; makan, tidur, hubungan seksual, dan penyakit-penyakit hati; tamak, dengki, amarah, iri hati, dsb.
Ketika ritual demikian telah dilakukan maka hasilnya adalah sucinya hati dari segala kotoran penyakit yang menggerogotinya. Tatkala hati itu telah bersih, itu berarti ia telah siap untuk menerima sapaan Nur Illahi. Pada saat itulah sang sufi akan masuk dalam tingkat makrifat, yaitu menemukan pengetahuan sejati yang bersumber dari Dzat Maha Terpuji, Allah Ta’ala.

Wasiat

Wasiat-wasiat Nabi kepada Imam ‘Ali
Wahai ‘Ali, orang mukmin memiliki tiga tanda, yakni salat, puasa, dan zakat. Orang yang pura-pura memiliki tiga tanda, yaitu: mencari muka jika berada di hadapan, menggunjing di belakang, dan merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain. Orang zalim memiliki tiga tanda, yakni: bersikap sewenang-wenang pada bawahan, membangkang pada atasan, dan menampakkan kezaliman. Orang yang riya’ memiliki tiga tanda, yakni: diat di depan manusia, bermalasan jika sendirian, dan suka dipuji dalam setiap perbuatan. Orang munafik memiliki tiga tanda, yakni: berdusta jika berbicara, ingkar jika berjanji, dan berkhianat jika diberi amanat.
Wahai ‘Ali, orang malas memiliki tiga ciri, yakni: menunda-nunda hingga sia-sia, menyia-nyiakan hingga hilang, dan menghilangkan hingga berdosa. Tidak sepantasnya buat orang yang berakal menampakkan diri kecuali dalam tiga hal, yakni: memperbaiki kehidupan, merasakan kelezatan apa-apa yang tidak haram, atau melangkah pada tempat kembali.
Wahai ‘Ali, termasuk keyakinan ialah bahwa engkau tidak senang kepada orang yang dibenci Allah, tidak memuji seseorang atas apa yang diberikan Allah kepadamu, dan tidak mencela apa yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sebab, rezeki tidak ditarik oleh ketamakan orang yang sangat rakus, dan tidak ditolak oleh kebencian orang yang benci. Allah Swt menjadikan kesenangan dan kelapangan dalam keyakinan dan kerelaan atas karunia Allah.
Wahai ‘Ali, tidak ada kefakiran yang lebih berbahaya ketimbang kebodohan, tidak ada harta yang lebih baik dari akal, tidak ada kesendirian yang lebih ditakuti dari ‘ujb (merasa bangga pada diri sendiri), tidak ada penyelesaian yang lebih dapat dipercaya dari musyawarah, tidak ada keimanan seperti keyakinan, tidak ada wara’ seperti menjaga kehormatan diri, tidak ada kemuliaan seperti akhlak mulia, dan tidak ada ibadah seperti tafakur.
Wahai ‘Ali, segala sesuatu memiliki penyakit. Penyakit pembicaraan adalah dusta, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya’, penyakit kepandaian adalah pembualan, penyakit keberanian adalah kedurhakaan, penyakit toleransi adalah kelemahan, penyakit kecantikan adalah kesombongan, penyakit kaya adalah kebakhilan, penyakit kedermawanan adalah pemborosan, penyakit ibadah adalah kecongkakan, dan penyakit agama adalah hawa nafsu.